Minggu, 13 April 2014

Guru Idola Disayang Siswa

Oleh Kholied Mawardi, S. Pd
Guru MI/MTs Miftahul Ulum Kemlagi Mojokerto. Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris Univeraitas Negeri Surabaya.

Guru berperan penting dalam kegiatan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika kota Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur diserang bom atom oleh pasukan sekutu pada Agustus 1945, pemerintah Jepang mencari berapa guru yang masih selamat.

Mereka beralasan dengan guru yang berkualitas akan menjadikan pendidikan berkualitas. Sehingga akan mempercepat negara Jepang menjadi negara maju. Tidak heran dalam waktu singkat, Jepang menjadi negara maju karena memiliki pendidikan berkualitas. Buktinya produk otomotif dan elektronika buatan Jepang mudah ditemukan di penjuru dunia.

Guru tidak pernah lelah mendidik dan mengajar pengetahuan kepada muridnya. Guru yang berkualitas akan membuat penyampaian materi pelajaran menjadi lebih menyenangkan. Pasalnya, kehadiran guru idola selalu dinanti kehadirannya.

Apa saja cerita yang akan disampaikan sebelum memulai pelajaran. Praktik apa yang akan dilakukan agar materi pelajaran mudah diterima. Apabila guru berlabel idola tidak masuk, para murid akan merindukan sosok panutan.

Guru berlabel idola tidak hanya humoris, mereka dapat membuat kegiatan belajar mengajar lebih menyenangkan melalui bermain peran dan berlatih membaca pengalaman di depan kelas.

Mereka menyemangati para murid untuk berani membuat puisi bertema bebas kemudian membacakan puisi di depan kelas. Kemudian meminta temannya mengomentari usai deklamasi puisi secara bergantian.

Tak lupa meminta murud memajang karya yang sudah dibuat di majalah dinding yang ada di kelas atau memasukkan ke dalam website milik sekolah. Kegiatan ini membuat siswa lebih berani berkarya, berpendapat, dan dihargai oleh orang lain.

Selama ini ada guru yang beranggapan hanya karya yang bermutu yang boleh dipajang di majalah dinding. Karya yang biasa tidak boleh dipajang karena akan menjatuhkan mutu sekolah. Padahal para murid ingin dihargai apapun karya yang telah dibuat entah berkualitas atau tidak.

Berbeda dengan sistem pendidikan Jepang yang membolehkan siswanya memajang karya yang telah selesai di dinding kelas. Guru tidak menyeleksi mutu karya. Hal terpenting, murid yang sudah selesai mengerjakan sesuatu berhak dipajang karyanya. Maka tak heran begitu memasuki ruang kelas di Jepang akan menemukan banyak hiasan dan karya siswa. 

Sebaliknya, guru yang "standar" cara pengajarannya monoton, kehadirannya tidak selalu dinanti. Mereka tidak bergairah menerima materi pelajaran karena sebatas mengerjakan latihan soal kemudian ditinggal pergi. Atau guru tersebut asyik dengan mengutak atik laptop atau telepon genggamnya.

Para murid dianggap seperti mesin yang dapat diprogram. Padahal murid terutama yang masih duduk di bangku sekolah dasar merupakan makhkuk yang kompleks. Mereka bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Mereka masih memerlukan bantuan, perhatian, pujian, dan saran ketika mengerjakan sesuatu.

Rabu, 29 Juli 2009

Menambang Belerang Bertaruh Nyawa, Ingin Meraup Banyak Rupiah

Oleh Kholied Mawardi


Rimbunan pohon dan rerumputan berbaris menghiasi pemandangan menuju gunung Kawah Ijen (2.386 m.dpl) di daerah perbatasan tiga kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Situbondo. Penulis memasuki kawasan gunung Kawah Ijen dari jalur Bondowoso.

Untuk mendaki gunung kawah Ijen terdapat dua alternatif jalan. Pertama melakukan pendakian dari kota Banyuwangi sekitar 38 km ke arah barat lewat Licin. Wisatawan juga bisa mendaki gunung ini dari kota Bondowoso sejauh 80 km.

Perjalanan dari kota Bondowoso menuju Kawah Ijen dapat ditempuh dengan kendaraan umum selama tiga jam perjalanan. Wisatawan bisa menaiki angkutan umum membayar Rp10 ribu per orang dari terminal kota tape untuk menuju Paltuding (1.880 m.dpl), kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso, Jatim.

Paltuding menjadi tempat parkir kendaraan, kemudian dilanjutkan aktivitas pendakian menuju gunung Kawah Ijen sekitar 2 jam. Perjalanan turun dari puncak gunung Kawah Ijen ke Paltuding dapat ditempuh sekitar 1,5 jam.
Rute pendakian lewat Bondowoso, para wisatawan bisa melihat hamparan kebun kopi arabika milik PTPN XII. Serta rimbunnya pohon pinus, cemara gunung, dan lebatnya hutan cagar alam Ijen.

Perjalanan menuju Paltuding melintasi beberapa perbukitan. Banyak tikungan tajam menghadang menantang adrenalin petualangan. Sayang, beberapa bagian dari jalan aspalnya mengelupas.
Medan jalan yang berat sangat disukai wisatawan mancanegara (wisman). Namun, sebagian wisatawan nusantara (wisnu) mengaku kapok mendatangi kawah penghasil belerang untuk kali kedua.
Hawa dingin dan angin bertiup sepoi-sepoi menyambut wisatawan yang akan mendaki gunung Kawah Ijen di Paltuding. Saat tiba di pos pertama ini, senyum mentari sudah merekah. Maklum keberangkatan dari Wisma Argowilis milik Pemkab Bondowoso sekitar jam 03.00 WIB dini hari. Embun di pagi hari masih bisa dilihat dari pucuk rerumputan yang terlihat basah.
Makan pagi dilakukan di sebuah gazebo yang dibangun Pemprov Jatim. Terasa beda saat sarapan sambil melihat lukisan Tuhan. Ada perasaan damai dan tenteram. Sesuatu pemandangan yang jarang ditemui di perkotaan yang banyak dipenuhi hutan beton.
Beberapa penambang belerang berjalan berbaris. Mereka membawa dua keranjang yang dihubungkan bambu. Siap memikul belerang dari bibir Kawah Ijen. Bekal nasi dan air minum dibawa dalam pendakian menambang.
Sepatu boat dikenakan untuk melindungi kaki. Topi yang sudah pudar digunakan untuk menghalau sinar matahari yang menyengat. Linggis digunakan untuk "mencongkel" belerang yang keluar dari perut bumi.
Wisatawan asing sangat menyukai melihat aktivitas penambangan tradisional belerang. Pekerjan penuh resiko karena sering menghirup asap belerang. Mereka hanya gunakan kain sarung lusuh yang diberi tetesan air untuk menangkis asap belerang. Bukan masker yang dikenakan.
Sekitar 200 penambang belerang tradisional di gunung Kawah Ijen , hilir mudik setiap hari mengangkut belerang dari bibir kawah. Senyum mereka pada wisatawan saat berpapasan menunjukkan keramahan.
Sebagian dari mereka membawa dua keranjang pikulan yang diletakkan di bebatuan yang ada di pinggir jalur pendakian. Tidak perlu risau keranjang yang diletakkan begitu saja dipinggir jalan akan diambil penambang lain.
"Semua sudah tahu keranjang penuh belerang berwarna kuning itu milik siapa. Tidak akan diambil penambang lain," ujar Masit (40) satu diantara penambang belerang.
Pria yang sudah 20 tahun menjadi penambang ini menambahkan, setelah menambang belerang, para pekerja dari Candi Ngrimbi melakukan penimbangan di pos bundar. "Disana ada petugas yang akan memberi nota berapa kilo belerang yang kita ambil. Kemudian di penampungan belerang di Paltuding akan ditimbang ulang," katanya.
Berapa penghasilan yang didapat dari pekerjaan penuh resiko ini? Menurut Masit, per kilo belerang diberi upah Rp600. "Saya hari ini bisa angkut belerang 50kg. Tinggal kalikan saja berapa upah yang saya dapat per harinya," tambahnya.
Penghasilan yang langsung diberikan setelah menambang, membuat banyak warga sekitar yang jadi penambang belerang. "Menambang belerang ini gajiannya per hari. Tidak seperti pekerjan lain yang harus nunggu dua minggu sekali atau sebulan sekali baru bayaran," ujar Rudi (35) penambang belerang.
Ketika ditanya kenapa tidak menggeluti profesi lain, Rudi mengaku sudah pernah bercocok tanam tapi hasilnya tidak memuaskan. "Pernah nanam di Bondowoso tapi tidak berhasil. Kalau jadi penambang saat sehat bisa setiap hari dua kali menambang belerang. Rata-rata belerang yang saya ambil 70kg," tambah penambang belerang yang sudah lebih dari 10 tahun ini.
Dadang Setyo Utomo , administrasi pengelola tambang belerang mengatakan, belerang yang ditampung di Paltuding kemudian dibawa ke pabrik Candi Ngrimbi di Licin, Banyuwangi. Di pabrik, belerang dihancurkan hingga berbentuk butiran halus. Kemudian butiran belerang dikemas dalam kantong ukuran 50kg siap dikirim ke Surabaya .
Belerang dari kawah Ijen, lanjut Dadang, kebanyakan digunakan untuk memutihkan gula. "Namun, kita tidak tahu belerang yang sudah dikirim ke Surabaya akan dibawa ke pabrik pembuatn bedak kulit, kosmetik, dan sabun," ujarnya.

Para penambang belerang tradisional di gunung Kawah Ijen (2386 m. dpl) rata-rata sehari melakukan 300 kali penimbangan (www.antarajatim.com diunduh 24 Desember 2008) Setiap penambang rata-rata mengangkut 70-80 kg belerang. Belerang yang diambil penambang dicatat oleh petugas administrasi PT Candi Ngrimbi di pos bundar kawah Ijen.
Dadang mengatakan, dalam sehari bisa mencatat 300 kali hasil pikulan penambang belerang. "Setelah belerang ditimbang, penambang dapat nota yang isinya berapa banyak hasil menambang belerang. Nanti di Paltuding akan dihitung ulang," katanya.
Menjadi operator pencatat hasil timbangan belerang sudah dilakoninya selama empat tahun. "Kerja catat hasil timbang penambangan belerang di pos bundar kawah Ijen selama 10 hari bersama Suhar. Kemudian pindah tempat kerja pos penimbunan belerang selama 10 hari di Paltuding. Nanti ada petugas yang mencatat timbangan belerang di pos bundar dekat Kawah Ijen,” katanya menambahkan.

Dadang menambahkan, selama di atas gunung dia juga melayani wisatawan yang memesan mi
goreng dan mi kuah, kopi, teh, dan aneka penganan lainnya. " Ada komisi dari setiap makanan dan minuman yang dipesan wisatawan yang datangi kawah Ijen," katanya.
Para penambang tetap melakukan pendakian ulang alik kawah Ijen. Pabrik memberi susu sapi pada mereka untuk mengurangi resiko dari asap belerang dan asupan gizi. Entah sampai kapan tetap menambang belerang. Pekerjaan yang banyak menghasilkan banyak rupiah namun penuh resiko, tetap dilakoni agar dapur tetap mengebul.

PENCULIK ANAK


Namanya Adit. Singkat dan mudah diingat, bukan? Kuketahui nama seorang bocah laki-laki yang masih sekolah di sebuah SD favorit di tengah kota buaya ini dari bedge nama di baju yang dikenakan siang itu di sebuah taman kota .

Dari penampilannya, dia termasuk anak yang menyenangkan untuk dilihat. Rapi dan bersih. Jauh dari kesan kemproh. Pasti ibunya pandai merawat dan mencuci baju seragamnya dengan hati tulus.

***

Berbeda dengan istriku yang selalu ogah-ogahan mencuci. Kamar mandi penuh baju kotor menumpuk. Belum lagi di gantungan baju di belakang pintu kamar tidur, berjajar baju kotor yang menjadi sarang nyamuk. Ada saja alasan yang dikemukakan. Mulai dari capai membersihkan rumah, memberi makan ayam dan burungku berjumlah puluhan yang ada di sangkar belakang rumah kontrakan yang penuh sesak dan pengap.

Tiap detik ibu dari anak-anakku bermuka masam. Tak enak dilihat. Selalu memakai daster lusuh yang sudah banyak dikrikiti tikus. Banyak lubang di mana-mana. Apalagi diajak kelon di keheningan malam. Sudah seminggu ini gairah kelaki-lakianku tak terlampiaskan. Bukan sudah padam tak ada bara api asmara menggelora dalam diriku. Sejatinya gairahku sudah di ubun-ubun minta dilampiaskan.

Bagaimana bisa memenuhi nafkah batin, ketika masih foreplay, istriku selalu mengungkit-ungkit hutang yang sudah menumpuk untuk dilunasi mengalahkan tinggi apartemen dan kondominium paling jangkung sekali pun di kota ini. Langsung saja pikiranku tak bisa dikompromi. Malah kulepaskan pelukan eratku di pinggang istriku yang masih ramping walau sudah bersalin di klinik Bu bidan tiga kali. Lenyap sudah gairah semalam ditandai lunglainya jimat kebanggaanku.

Kumemilih membelakangi punggung daripada menatap lekat wajah belahan jiwaku yang wajahnya khas Jawa. Istriku tidaklah jelek amat. Dulu, dia termasuk kembang desa. Aku beruntung bisa menikahinya, setelah menyingkirkan empat pemuda kaya dan berpenghasilan mapan di desaku. Cara yang kutempuh menggondol istriku termasuk licik.

Ku minta bantuan dukun berpengaruh di desaku dan kurenggut paksa keperawanannya di gubuk reot di tengah sawah. Saat itu kuamati calon istriku di sungai seorang diri dan rute yang biasa dilewati pergi dan pulang dari sungai. Tak mungkin masih ada orang berlalu-lalang menyusuri pematang sawah dan mengguyur tubuh menjadi basah oleh air dari mata air ketika menjelang sang surya beranjak pergi digantikan tempatnya oleh rembulan malam.

Dia tak tahu kehadiranku yang hendak berniat buruk yang telah lama membuntuti dirinya. Kupeluk erat tubuhnya dari arah belakang hingga sulit bernapas sambil kusumpal mulut mungilnya menggunakan sapu tangan lusuh. Kemudian kubopong tubuhnya ke gubuk reot beralaskan jerami bukan di kasur spring bed mewah di hotel berbintang.

Setelah kejadian kelam itu, dia menolak mentah-mentah lamaran dari beberapa pria yang hendak menyuntingnya sebagai permaisuri di saat menjadi Raja dan Ratu sehari. Orang tuanya marah besar karena anak gadis semata wayang tak jadi menikah dengan pria pilihan orang tuanya.

Tetangga pada takjub dan heran setelah dia mengumumkan calon suaminya adalah aku, pemuda pengangguran bermasa depan suram. Telah kuambil sarinya bunga yang seharusnya kuhisap sesudah kami mengucapkan ikrar sakral sehidup semati di depan penghulu, keluarga, dan tetangga.

Setelah menikah, kuajak dia ke kota mencari peruntungan. Pekerjaan tetap sulit hinggap padaku. Sering ditolak menjadi pegawai karena tidak punya kenalan, ijazah, dan keahlian. Yang kumiliki cuma menyetir mobil. Dulu pernah jadi sopir saat masih di kampung.

Istriku sudah lama tidak memakai kosmetik, parfum dan baju yang layak pakai. Ku sudah lupa kapan terakhir kali mengajaknya ke pasar tradisional untuk membeli beberapa potong baju untuknya dan anak-anak kami. Mungkin tiga tahun atau malah lima tahun lalu.

Aku sebagai suami termasuk gagal. Tidak mampu mencukupi kebutuhan.keluarga Termasuk membelikan pemoles bibirnya yang ranum merekah. Bibir seksinya membuat diriku ketagihan melumat habis dan menjejalkan lidahku menyusuri rongga mulutnya.

Di warung sebelah, sudah dua ratus sekian ribu rupiah yang harus dibayar. Belum lagi cicilan motor yang hampir ditarik lagi oleh dealer bila dalam seminggu tidak mampu membayar. Padahal SPP ketiga anak-anaku nunggak empat bulan. Belum lagi kemarin, Ibu Aisyah, pemilik kontrakan, menarik uang sewa setahun sekali. Kuberbohong minggu depan dapat melunasi uang sewa kontrakan yang angka nolnya berjumlah enam. Dari mana bisa dapat uang banyak dalam waktu sekejab? Menang dari judi togel? Hari gini masih mimpi?

***

Adit tidak seperti anak bungsuku. Tiap hari ketika si bungsu pulang dari sekolah, seragamnya selalu berubah warna. Pagi hari masih bersih dari noda membandel. Siang hari sudah berubah warna. Kotor. Entah kena ingus, keringat hingga debu nakal yang mudah disuruh angin bergerak ke suatu tempat. Labil dan tidak punya pendirian. Seperti diriku. Tak punya tujuan jelas untuk dapat membahagiakan keluarga.

Terbukti dari tetap putihnya seragam yang dikenakan Adit untuk menutupi badan dari sengatan sinar mentari yang cukup terik di kala siang hari di Surabaya yang gerah dan basah keringat mengucur deras tanpa perintah.

Ternyata Adit termasuk anak yang mudah akrab. Sekali pun orang baru berjumpa dengannya. Seperti halnya diriku yang hanya seorang sopir salah satu taxi dari sebuah operator yang tidak punya pelanggan tetap dan armada yang pas-pasan. Maksudnya, pas dibuat menarik penumpang, AC tidak bisa maksimal membuat nyaman konsumen. Pas di jalanan yang macet, mobil taxiku mogok di tengah jalan. Tidak mau diajak cari uang. Kontan, penumpang langsung mengumpat kesal. Ogah membayar sekian rupiah sesuai yang tercantum di argo yang ku setting melebihi angka normal.

***

“Kita akan kemana nih, Om ? Adit sudah capai! Kapan Om ajak Adit ke Papa?” terus bicara saja anak kecil ini. Bagiku bukan pertanyaan lagi. Malah pantas disebut omelan. Sama halnya istriku yang selalu ngomel minta uang dapur nambah. Kata istriku, “Biar dapur tetap mengebul, suami harus kasih uang banyak. Masak uang dapur sehari lima ribu. Mana cukup mas! Beras mahal dan langka belum beli air bersih, minyak tanah, uang jajan si bungsu, belum lagi iuran RT.”

“Masak Adit lupa. Ini kan rute ke kantor Papa.” ujarku pelan. Kuajak Adit berputar-putar, biar dia bingung dan tak tahu jalan menuju rumah maupun ke kantor Papanya.

“Bukankah di pertigaan Diponegoro tadi, Om ambil jalan ke kiri. Pasti nggak nyasar. Kan kantor Papa di jalan Kartini? Kok Om malah terus? Kan tadi Om janji mengantar Adit ke kantor Papa?” sahut Adit penuh keyakinan dimana letak kantor Papa sebenarnya dan mencoba mengingatkan janjiku.

Ku kemudikan mobil taxiku perlahan menyusuri jalan yang biasa digunakan kupu-kupu malam menebar kehangatan semu di malam yang dingin. Sering taxiku dipakai kencan sesaat pria haus gairah dengan wanita penebar kehangatan. Kudisuruh putar-putar di jalanan kota. Alasan si pria ingin mencari sensasi dan mengikuti salah satu jejak gaya hidup yang terekam di dalam buku Jakarta Under Cover.

Ku tak peduli jok belakang penuh bekas peluh keringat. Asalkan si pria mau membayar sesuai yang dimaui argo taxi yang telah kumanipulasi, membayar tip sekian ratus rupiah, juga diberi bonus besar dari si cewek. Kalau apes cuma mengantarkan dua sejoli yang ingin menghilangkan dinginnya malam kelam dan menumpahkan gairah yang bergelora di dada di sebuah kamar hotel yang banyak jumlahnya betebaran mulai kelas melati hingga bintang lima .

Otakku memeras keringat tanpa mempedulikan akan kemana arah mobilku melaju. Tak peduli hingga akhirnya mobilku pergi ke daerah yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan kota .

Tiba-tiba ku terngiang keinginan seorang ibu rumah tangga yang beberapa hari lalu ku antar ke rumah orang tuanya. Ibu itu bertutur mengeluh, sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama sepuluh tahun, namun tidak juga hadir buah hati pengikat dua hati, gelak tawa, dan tangis dari rahimnya di rumahnya yang megah.

Ku mengingat-ingat letak rumah orang tua Ibu yang di anggap mandul oleh suaminya. Tercetus ide ingin mendapatkan puluhan juta rupiah hasil dari menjual Adit yang mulai terserang kantuk kepada Ibu malang itu. Ku membayangkan akan bahagianya istri dan anak-anakku mengetahui Ayahnya pulang dari narik taxi bawa uang segepok.

Tak dinyana, tiba-tiba ada seorang bocah yang mengendarai sepeda mini menyebrang tanpa menoleh ke kanan dan kiri. Spontan ku injak rem. Adit teriak keras, “Ada apa Om? Apa kita menabrak sesuatu? Tanya Adit penuh selidik. Ku teringat anak-anakku. Ku tak mau mencelakai dua bocah sekaligus. Pertama Adit dan kedua bocah yang kini tergeletak lemas tak berdaya karena shock berat. Untung tak ada memar dan luka sedikit pun dari tubuh mungilnya.

Ku urungkan niat mengeruk pundi dari hasil menjual anak orang lain daripada hidup tidak tentram. Terus kepikiran. Bahagia di atas derita orang lain. Setelah mengantarkan si bocah yang senak udelnya dewe menyebrang ke rumah orang tuanya, ku antarkan Adit pulang di salah satu perumahan elit di Surabaya . Tak terbersit kecurigaan pada dirinya yang semula akan ku jual ke orang yang tidak punya anak.

***

Sesampainya di rumah, istriku mengutarakan niat ingin menjual saja si bungsu kepada Bu Amir yang tidak punya anak setelah melewati usia sewindu pernikahan untuk melunasi semua hutang kita. “Mas setuju, kan ?” kata istriku.

Surabaya , 2 April ’07

23.30-01.55 WIB.